RUMAH SAKIT ALOEI SABOE MENUJU BLU

Sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat Rumah Sakit Aloei Saboe diharapkan mampu menjadi rujukan dan andalan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Untuk itu pihak manajemen  rumah sakit bersama Pemerintah Kota Gorontalo selalu mengupayakan pembenahan dan penguatan kapasitas rumah sakit. Untuk mewujudkan harapan tersebut salah satunya dengan menjadikan rumah sakit sebagai Badan Layanan Umum.

Pembangunan kesehatan masyarakat rumah sakit selalu diarahkan pada pelayanannya selama ini dinilai masih belum memuaskan. Tak sedikit keluhan dari masyarakat bahkan pemberitaan media yang memojokkan kinerja pelayanan rumah sakit. Terutama rumah sakit milik pemerintah atau Rumah Sakit Umum Daerah yang menunjuk keterbatasan dana sebagai penyebab klasiknya.
Peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah menyebabkan rumah sakit tidak bisa mengembangkan mutu layanannya. Namun dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU). PP tersebut bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik pemerintah karena sebelumnya tidak ada pengaturan yang spesifik mengenai unit pemerintahan yang melakukan pelayanan kepada masyarakat yang pada saat itu bentuk dan modelnya beraneka macam. Adapun jenis BLU yang diatru dalam PP tersebut antara lain Rumah Sakit, Lembaga Pendidikan, Pelayanan Lisensi, Penyiaran, dan lain-lain. Rumah sakit sebagai salah satu jenis BLU merupakan ujung tombak dalam pembangunan dan pengembangan pelayanan kesehatan masyarakat. Sebagai tahap awal, pemerintah menetapkan 13 rumah sakit yang statusnya Perusahaan Jawatan (Perjan) menjadi BLU. Ketiga belas rumah sakit terdiri dari enam rumah sakit di Jakarta yaitu : RSCM, Rumah Sakit Fatmawati, Rumah Sakit Persahabatan, Rumah Sakit Jantung Dan Pembuluh Darah Harapan Kita,Rumah Sakit Harapan Kita dan  Rumah Sakit Kanker Darmais, satu rumah sakit di Bandung yaitu Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Satu lagi di Semarang yaitu Rumah Sakit Dr. Kariadi, di Yogyakarta Rumah Sakit Dr. Sardjito, Denpasar Rumah Sakit Sanglah, salah satu di Makassar yaitu Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo, Padang dengan Rumah Sakit Dr. M. Djamil dan yang terakhir Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin di Palembang.
Di Gorontalo, Rumah Sakit Aloei Sabeo kemudian sesuai dengan political will dari Pemerintah Kota Gorontalo sendiri kini tengah membenahi diri menuju BLU. Tentu saja harapan pemerintah ini berdasarkan aspirasi masyarakat yang menginginkan adanya pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit yang prima, terjangkau efektif, efisien, dan bertanggung jawab. Senada juga dikatakan oleh Menteri Kesehatan RI, Siti Fadilah Supari disela-sela pelantikan Direktur Utama BLU rumah sakit di Jakarta pecan lalu. Menurut Menkes, sebelum ditetapkan menjadi BLU sebuah rumah sakit yang berstatus Perjan telah diberi kesempatan untuk melewati masa transisi selama enam bulan. Dalam masa tersebut ada rumah sakit yang tenang-tenang saja, dalam artian semua pelayanan berjalan normal dan bahkan meningkat. Namun ada juga yang begejolak, baik positif maupun negatif. Untuk itu dengan manajenem BLU kata Menkes, rumah sakit mempunyai keleluasaan dan kelonggaran yang lebih untuk mendayagunakan uang pendapatan serta peningkatan pelayanan. Diingatkan Menkes pembentukan BLU tidak bertujuan mengkomersikan Rumah Sakit atau mengejar keuntungan semata. “Namun, pendapatan tersebut harus dikelola sebaik-baiknya untuk meningkatkan mutu pelayanan bagi semua pasien juga untuk meningkatkan kualitas SDM, mengendalikan tariff pelayanan, mengelola sarana, dan bukannya untuk menumpuk keuntungan,” tegas Fadillah Supari.
Menkes melanjutkan dengan manajemen yang baik, keuntungan yang cukup longgar, kesejahteraan SDM semakin meningkat serta adanya Undang-Undang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Perumahsakitan maka para dokter akan bekerja lebih baik. “Sehingga diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap dokter akan semakin meningkat dan akhirnya masyarakat akan mantap untuk berobat di negeri sendiri serta tidak perlu lagi ke Singapura atau Malaysia” imbuhnya.

BLU menjadi solusi?
Ditengah keinginan pemerintah untuk menyelesaikan masalah perbaikan pelayanan rumah sakit dengan penerapan BLU, namun muncul dilema bahwa adanya BLU akan menyebabkan komerumahsakitialisasi diberbagai sektor dan bidang. Kekhawatiran ini wajar saja muncul akibat opini yang sudah terbangun ditingkat masyarakat bahwa setelah terjadi swastanisasi rumah sakit yang merupakan salah satu jantung pelayanan public, maka biaya pelayanan dan pengobatan akan semakin tidak terjangkau oleh kalangan masyarakat kurang mampu. Upaya mewiraswastan tersebut dapat diketahui melalui pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) sesuai pasal 68 dan 69 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam peraturan disebutkan bahwa BLU adalah “Instansi dilingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas”. Jadi walaupun BLU dibentuk tidak untuk mencari keuntungan, akan tetapi letak enterprising-nya dapat dilihat pada pasal 69 ayat (6) bahwa pendapatan BLU dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan. Pendapatan yang dimaksud itu dapat diperoleh dari hibah, sumbangan, atau sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan.
Untuk itu sebagaimana amanat pasal 69 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara bahwa penerapan BLU diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pada tanggal 13 Juni 2005 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum. Peraturan tersebut mengatur lebih rinci mengenai tujuan, asas, persyaratan, penetapan, pencabutan, standar layanan, pengelolaan keuangan, dan tata kelola BLU, sehingga diharapkan dengan adanya PP ini, penerapan BLU khususnya di rumah sakit-rumah sakit daerah tidak melenceng dari tujuan yang diharapkan. Inilah pula yang diharapkan menjadi solusi penguatan kapasitas dan pelayanan rumah sakit itu sendiri kepada masyarakat.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan, Farid W HUsein, disela-sela kesempatan yang sama menyatakan, dengan adanya status BLU, rumah sakit memiliki keleluasaan untuk mengelola keuangannya. Namun, pihaknya akan selalu melakukan pengamatan terhadap kinerja rumah sakit selaku BLU. “Kehati-hatiannya harus tambah”, ujarnya. Kalau sebagai tahap awal sebanyak 13 rumah sakit yang status Perjan telah ditetapkan menjadi rumah sakit BLU, dikemudian hari semua rumah sakit akan dibawa kearah sana. Syaratnya rumah sakit tersebut harus sehat dalam melaksanakan pekerjaannya. “Arah BLU adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit. Yaitu bagaimana meningkatkan mutu dengan kebebasan keuangan yang dimilikinya”, tegas Farid.
Sedangkan menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran UI, Prof. Ascobat Gani, dengan adanya aturan soal BLU ini selain manajemen rumah sakit memiliki keleluasaan dalam mengelola keuangannya, tidak hanya itu masalah penggajian karyawan juga bisa diatur secara proporsional. Sebelum adanya aturan tentang BLU, manajemen pengelolaan keuangan di sebuah rumah sakit sangat ketat. Akibatnya rumah sakit tidak bisa mengembangkan diri karena sering masalah keuangan menjadi salah satu penghambat pengembangan rumah sakit. Yang lebih parah, mutu layanan kepada pasien atau konsumen juga semakin menurun. “Yang jelas manajemen rumah sakit sekarang lebih luas dalam mengelola keuangannya dan diharapkan pelayanan pula semakin serius dan meningkat” jelasnya dalam Lokakarya Nasional Kesiapan Rumah Sakit Daerau (RSUD) menjadi BLU yang diselenggarakn Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (ARSADA) di Jakarta beberapa waktu lalu. Ditambahkanya pula, aturan yang ada di PP 23 tahun 2005 memangkas aturan-aturan yang adasebelumnya. Justru yang itu membatasi gerak langkah rumah sakit. Dengan BLU, manajemen rumah sakit diperbolehkan meminjam uang kepada pihak ketiga untuk menutup biaya operasional. Ini bisa dilakukan jika kondisi keuangan sebuah rumah sakit benar-benar mengkhawatirkan. Ascobat menyebut aturan di BLU ini sangat revolusioner. Tapi yang lebih penting, dengan menjadi BLU maka pimpinan rumah sakit memiliki hak untuk mengatur penggajian karyawannya. Ini berbeda dengan aturan sebelumnya, yaitu semua karyawan mendapat gaji sama tanpa membedakan prestasi atau hasil kerjanya.
“Dengan BLU pimpinan rumah sakit bisa memberikan honor, insentif, atau bonus diluar ketentuan gaji. Jika dulu ada yang kita kenal dengan istilah “PGPS” alias Pinter Goblok Pembayaran Sama. Nah dengan BLU, diatur bahwa diluar gaji boleh diberikan honor, insentif, bahkan bonus sesuai dengan kinerja. Misalnya ketika kinerja keuangan bagus sekali sehingga ada sisa hasil usaha, maka bisa jadi dia mendapatkan bonus atau hasil kerjanya” paparnya.

Masyarakat Miskin Tetap Terjamin
Selama ini muncul kekhawatiran dimasyarakat terhadap rumah sakit (RS) dengan status sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dikhawatirkan, biaya kesehatan di RS semakin tak terjangkau oleh masyarakat miskin. Akibatnya masyarakat miskin makin jauh dari pelayanan kesehatan yang semakin dibutuhkannya.
Menjawab kekhawatiran tersebut, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari sebagaimana dilansir media Republika Online (18/10/05), meminta kepada direktur rumah sakit BLU untuk benar-benar memperhatikan akses kesehatan bagi masyarakat miskin.
“Saya tidak ingin mendengar lagi adanya rakyat kecil yang terlunta-lunta ketika ingin mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Saya tidak mau mendengar lagi kisah rakyat kecil yang ditolak oleh rumah sakit, terutama rumah sakit pemerintah dengan alasan apapun juga.” katanya ketika melantik 13 direktur utama RS BLU dan sejumlah pejabat eselon II Depkes lainnya, di Jakarta pekan lalu.
Menkes menegaskan, pemerintah saat ini menjalankan program pengobatan gratis untuk rakyat miskin di kelas tiga rumah sakit dengan mekanisme asuransi kesehatan yang dikelola PT. Askes. Karena itu, Menkes mengingatkan, agar jangan sampai ada masyarakat miskin yang tidak memiliki kartu Askeskin ditolak di rumah sakit.
Sebagai contoh Direktur Utama BLU RS Sanglah Denpasar, dr. I Gusti Lanang M. Rudiartha MHA, sebagai dilansir Republika Online mengatakan dengan status BLU, rakyat miskin tetap akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. “Masyarakat miskin sangat terbuka dengan adanya pembiayaan dari Askes Miskin. Yang jelas dengan status BLU maka sisi manajemen, pelayanan, dan sebagainya harus sudah jelas arahnya.” ujarnya.
Hal senada pula pernah ditegaskan oleh Umar Wahid Hasyim, selaku Ketua Tim Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi IX DPR RI, Umar Wahid Hasyim saat melakukan kunjungan kerjanya di Propinsi Jambi pada Reses Persidangan III Tahun Sidang 2008/2009 baru-baru ini (11/2/09).

Kamis, 01 Januari 2009 di 03.14 , 0 Comments

Apel Pagi

Apel pagi (07/10) yang rutin dilaksanakan dihalaman kantor BP-RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo setiap hari kerja sebagai awal dari rutinitas kerja di Rumah Sakit ini tampak berbeda dari hari biasanya. Pasalnya apel pagi ini dirangkaikan dengan acara silaturrahim sesame pegawai di lingkungan RSAS. Dalam sambutannya, Kepala BP-RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe, Dr. Hj. Nurinda Rahim, MSc kembali menegaskan Lima Budaya Kerja yakni Proaktif, Disiplin, Inovatif, Kerjasama dan Transparan kepada seluruh peserta apel. “Selama ini pelayanan dalam hal tindakan medis mungkin sudah sangat memuaskan namun satu hal yang sedikit terlupakan oleh kita semua yaitu hilangnya etika saling menghargai dan menghormati antara sesame dan terutama pada pasien karena pasien yang notabene datang ke rumah sakit ini berharap mendapat pelayanan untuk kesembuhannya. Dan kita sebagai pemberi layanan kesehatan harus mampu memberikan pelayanan maksimal tidak hanya penyembuhan dengan pelayanan medis tetapi juga membantu pasien dalam penyembuhan mental atau psikologi pasien yang bersangkutan” ungkap Nurinda. Intinya kesehatan fisik harus dibarengi dengan kesehatan jiwa sehingga kita khususnya yang bersentuhan langsung dengan pasien harus mampu memanajemen perilaku dalam etika menghadapi pasien multi karakter. Walaupun bagi sebagian orang hal ini dianggap remeh, namun tidak demikian kenyataanya. Ditengah kehidupan yang semakin modern ini dimana hidup terasa sempit karena hamper seluruh waktu kita tersisa dengan seribu rutinitas yang mau tidak mau harus kita jalani karena bersangkutan dengan pemenuhan kebutuhan hidup yang terus meningkat. Imbas dari padatnya aktivitas kita tanpa disadari membuat kita berada pada kondisi tertekan tak jarang membuat kita sampai stress. Hidup menjadi tak seimbang lagi, dan tentunya membuat semuanya tidak terkontrol sampai-sampai beban itu terbawa ke tempat kerja. Menghadapi pasien yang sensitif dengan kondisi kita yang tidak fokus tentu saja akan berdampak negatif pada pelayanan kepada pasien. Sehingga tak dapat dipungkiri lagi banyak pasien yang mengeluhkan pelayanan yang telah kita berikan.
Dari lima item budaya kerja tersebut, disiplin menjadi salah satu item yang nampaknya mendapat perhatian khusus. Nurinda kembali menegaskan, bahwasanya disiplin merupakan tolak ukur keberhasilan kerja kita dimata masyarakat. Kesadran dari masing-masing individu sangat diharapkan guna meminimalisir banyaknya pengeluhan pada pihak manajemen RSAS. Kesadaran untuk datang tepat waktu dan menyelesaikan tugas sesuai dengan prioritas utama yang telah ditetapkan menjadikan semua tugas dan tanggung jawab kita terlaksana secara efisien yang imbasnya akan sangat baik bagi pelayanan pasien. Sehingga diharapkan tidak ada lagi. Apel pagi tersebut diakhiri dengan silaturrahim sesame pegawai di lingkungan RSAS.  

Rabu, 05 November 2008 di 03.36 , 0 Comments

MERIAH HUT KE-3 PEMANFAATAN RSAS

Pencanangan hari ulang tahun ke-3 pemanfaatan Rumah Sakit Aloei Saboe berlangsung Jumat pekan lalu (16/05), tepatnya di halaman kantor BP-RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo.

Pencanangan ini dibuka langsung oleh Kepala Badan, dr. Hj. Nurinda Rahim, MSc yang dirangkaikan langsung dengan jalan sehat yang mengambil start dan finish di halaman RSAS.
Serangkaian kegiatan menyambut HUT ke-3 pemanfaatan Rumah Sakit Aloei Saboe lainnya adalah lomba simulasi penanganan pasien antar instalasi dan ruangan, simulasi pelayanan prima, lomba MC, cerita humor, lomba baca Al-Quran, lomba vokalia, lomba ruangan dan taman binaan yang terbersih, bakti social, serta ragam kegiatan olah raga dan kesenian lainnya.
Rangkaian kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan keprofesionalismean petugas rumah sakit baik pada bagian pelayanan kesehatan maupun pelayanan administrasinya. Selain itu kegiatan ini juga diharapkan dapat mempererat tali silaturahim dan kebersamaan antar sesame pegawai di lingkungan RSAS.
Salah satu kategori lomba yang cukup menarik adalah simulasi pelayanan prima yang diikuti semua sub bagian di lingkungan RSAS. Samsudin Hanipa, SE yang juga ketua panitia dalam kegiatan tersebut mengungkapkan kepada crew Inflamas bahwa pelaksanaan rangkaian kegiatan perayaan HUT bukanlah untuk bersaing atau mencari penghargaan tapi lebih bertujuan utama setiap kegiatan yang dilaksanakan, misalnya dalam lomba simulasi pelayanan prima tujuan utamanya adalah agar tenaga medis atau staf yang bertugas dapat bekerja secara professional dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan.
“Bukan penghargaan menjadi tujuan utama dari simulasi ini, tetapi tanggung jawab terhadap pekerjaan yang harus ditanamkan pada diri masing-masing, yang tentunya akan berimbas pada pelayanan yang kita berikan kepada masyarakat sehingga menjadi sangat jelas bahwa lomba simulasi ini tidak hanya sekedar simulasi unjuk kebolehan tapi benar-benar ditekankan pada kesigapan dan keakuratan informasi dan pelayanan administrasi yang diberikan” jelas Samsudin.
Senada dengan hal tersebut kepada Inflamas Sekretaris panitia pelaksana, Yanto Yusuf Ponto mengungkapkan bahwa kegembiraan dan keceriaan yang dirasakan dengan adanya lomba ini dimaksudkan selain untuk menghilangkan kepenatan kerja para staf dan tenaga medis di RSAS, juga untuk senantiasa menjaga kebersamaan dan keakraban antar sesame pegawai dalam ruang lingku BP RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe. Bukan hanya itu, tuntutan keprofesionalan kerja juga masuk dalam materi lomba seperti simulasi pelayanan prima.
“Kebersamaan dan keceriaan sangat diperlukan dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan di RSAS karena kondisinya yang penuh dengan tekanan dan tuntutan pelayana terbaik. Itulah salah satu tujuan pelaksanaan kegiatan ini” ungkap Yanto.
Kepada para pemenang lomba diberikan reward yang diberikan oleh pengurus BP RSUD berupa bingkisan menarik sebagai penghargaan atas kegigihan dan keberhasilan mereka mengikuti lomba. Dalam hal ini Kepala Badan Pengelola RSAS mengatakan bahwa reward yang diberikan dimaksudkan untuk memacu kinerja dan kerjasama antar aparat dan tenaga medis di RSAS, sehingga bisa terjalin penguatan dalam sistem yang akan berdampak pula pada kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit ini. (Eka)

Jumat, 04 Juli 2008 di 03.38 , 0 Comments

RSAS, NAIK KE TIPE B NON PENDIDIKAN

Akhirnya datang juga…. Setelah perjuangan yang cukup panjang dan melelahkan Badan Pengelola Rumah Sakit Umum Daerah (BP RSUD) Prof. Dr. H. Aloe Saboe menerima Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 373/Menkes/SK/IV/2008 yang menyatakan RSAS Kota Gorontalo resmi ditetapkan naik status dari Tipe C menjadi Tipe B Non Kependidikan.

Kabar gembira ini tentu saja diakui oleh pihak BP RSUD tidak lepas dari kerja keras dan perjuangan semua pihak yang telah dengan berbagai upaya berbuat guna tercapainya kenaikan tipe rumah sakit ini. “Kerja keras dan dukungan semua pihak itu telah mengantar RSAS menjadi satu-satunya rumah sakit rujukan tertinggi di Provinsi Gorontalo” jelas Nurinda Rahim sebagai Kepala BP-RSUD.
Seperti yang telah diberitakan dalam edisi sebelumnya (03 April 2008) bahwa untuk meningkatkan pelayanan serta kebutuhan adanya fasilitas kesehatan yang memadai di Provinsi Gorontalo, maka pihak Pemda Kota Gorontalo bersama BP RSUD telah memulai mengupayakan peningkatan status rumah sakit ini dengan memperbaiki kualitas baik dalam penyediaan fasilitas kesehatan, tenaga medis dan perawat sampai pada penguatan kapasitas dan manajemen rumah sakit sejak beberapa tahun sebelumnya.
Terakhir saat kunjungan Tim dari Depkes RI (Kamis, 17/01) dalam rangka visitasi peningkatan status rumah sakit yang diterima langsung oleh Kepala Badan Nurinda Rahim.
Kebutuhan status kenaikan tipe RSAS dari Tipe C menjadi Tipe B Non Kependidikan, tentu saja berdampak pada pelayanan spesialis RSAS. Empat jenis pelayanan spesialis dasar sebelumnya yang telah ada di RSAS akan berkembang menjadi 12 jenis pelayanan spesialis.
Untuk memenuhi tuntutan ini, jauh sebelumnya pihak Badan Pengelola telah mempersiapkannya, dengan memfasilitasi sejumlah tenaga dokter umum untuk melanjutkan studi spesialis ke beberapa unversitas-universitas diantaranya, Spesialis Bedah Mulut di Universitas Padjajaran, Bedah Orthopaedi di Universitas Hasanudin Makassar, Ephidemiologi di UGM dan Universitas Sam Ratulangi Manado.
Selain peningkatan pada jenis pelayanan medik, peningkatan pada pelayanan keperawatan dan pelayanan administrasipun turut ditingkatkan.
“Fasilitas medik dan pelayanan kesehatan juga menjadi salah satu prioritas kami selaku Badan Pengelola yang senantiasa tak henti-hentinya terus melakukan terobosan untuk peningkatan pelayanan di rumah sakit ini serta terbuka menerima masukan dari pihak manapun demi kemajuan pelayanan yang kami berikan kepada masyarakat” imbuh dr. Nurinda.
Labih lanjut Nurinda menjelaskan adanya peningkatan status Rumah Sakit Aloei Saboe ini akan berdampak pada semua aspek yang ada di lingkungan rumah sakit. Semua instalasi atau satuan kerja yang ada di Rumah Sakit ini dituntut untuk dapat menjadi mandiri dan handal. Dimana satuan kerja mampu membuat perencanaan, mulai dari perencanaan anggaran, pengorganisasian (staffing), mengoperasikan instalasi serta rutin melakukan evaluasi dalam rangka meningkatkan pelayanan RSAS.
“Mudah-mudahan harapan kami dengan adanya peningkatan status rumah sakit ini dapat menjadi harapan semua pihak agar RSAS bisa menjadi media pelayanan kesehatan yang handal bagi rakyat Gorontalo pada khususnya” harap Nurinda. (Eka)

di 03.34 , 0 Comments

REFLEKSI PERJUANGAN PERS

Oleh : Indra Eka A. Amu

Perjalanan pers nasional sepanjang sejarah mengalami berbagai dinamika dan pasang surut. Para pejuang pers, sejak era kebangkitan nasional seratus tahun yang lalu hingga hari ini telah ikut mengukir sejarah bagi perkembangan pers maupun perkembangan demokrasi di negeri kita.
Sehingga sangat tidak berlebihan jika insan pers hari ini terus memperjuangkan pers yang hingga saat ini masih saja oknum yang berusaha mematahkan idealisme para insane pers.
Hari Kebebasan Pers Sedunia yang dirayak setiap 3 Mei adalah upaya untuk terus memperjuangkan kebebasan pers diseantero jagat raya. Tujuan perayaan Hari Kebebasan Pers yang dicanangkan PBB sejak 1933 ini adalah meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebebasan berbagai masyarakat dan Negara serta untuk mengingatkan pemerintah (Negara manapun) akan tugas mereka untuk menghormati dan menjaga kebebasan pers. Kebebasan pers adalah bagian dari kebebasan untuk berekspresi yang merupakan hak asasi manusia dan tercantum dalam article 19 Universal Declaration of Human Rights.
Sebagaimana yang kita ketahui insane pers berjuang untuk idealisme di negeri ini yang tentu saja harus dapat bertanggung jawab dalam memberikan informasi atau berita yang benar, akurat, tanpa keberpihakan dan tanpa kepentingan tertentu. Setiap penulisan berita atau sejarah haruslah sesuai dengan relitas obyektif atau menyeluruh, sehingga kebenaranpun tidak termanipulasi.
Insan pers dalam menjalankan fungsi kontol sosialnya sering mengalami ancaman dan bahaya, tak jarang ada pers yang dikontrol atau dipasung, tentu saja hal ini adalah satu bentuk pengekangan idealisme insane pers.
Kebebasan pers adalah salah satu tonggak demokrasi. Dan demokrasi berarti juga pluralisme sebagaimana kenyataan adanya perbedaan warna kulit, perbedaan suku, perbedaan agama, perbedaan ideologi, dan perbedaan-perbedaan lain yang terhampar didepan mata kita. Semua mempunyai hak yang sama untuk hidup, tumbuh, dan berkembang. Bila ada kelompok mencoba menindas, meniadakan, mendominasi, memonopoli, menjajah, atau menguasai kelompok lain, itu adalah pelanggaran hak asasi. Sesederhana itulah masalahnya. Sebab setiap orang pada hakikatnya memiliki kebebasan yang sama. Selamat merayakan Hari Kebebasan Pers Sedunia.

di 03.32 , 0 Comments

SUKA DUKA PETUGAS LOUNDRY

Bekerja sebagai petugas laundry di Rumah Sakit Aloei Saboe telah lama digelutinya sejak tahun 1985 silam. Pekerjaan yang banyak bersentuhan dengan air ini memerlukan fasilitas tubuh yang baik. Apalagi dua tahun belakangan ini dua mesin cuci yang mereka andalkan sudah tidak dapat dioperasionalkan, sehingga mencuci secara manual menjadi satu-satunya pilihan.
 
Namun ibu yang akrab disapa Ta Nena ini bersama stafnya tetap bekerja dengan penuh keikhlasan. “Apapun jenis pekerjaan yang kita geluti, jika dijalani dengan kesyukuran hati akan menjadi sesuatu yang bermakna, apalagi jerih payah ini diperuntukkan bagi keluarga”. Itulah ungkapan bijak yang dituturkannya kepada crew Inflamas RSAS saat menyempatkan diri berkunjung disela-sela kesibukannya di base camp bagian belakang. Mengabdi sejak tahun 1985 memberinya banyak pengalaman berharga. Tak banyak orang yang berminat untuk menggeluti pekerjaan ini, apalagi jika dihadapkan pada pakaian-pakaian operasi kotor dan berkuman. Namun hal tersebut tak menjadi sesuatu yang perlu dipermasalahkan, yang utama dalaha tanggung jawab dalam pekerjaan.
Selain itu sistim keselamatan kerja juga sudah diatur agar petugas tidak terkena penyakit atau tertular kuman dari bekas-bekas kain kotor yang dicuci. Meskipun sudah memiliki staf diloundry sebanayak 8 orang yang masing-masing lima orang  bertugas untuk mencuci kain, satu orang menyetrika dan satunya lagi menjahit keperluan rumah sakit, namun dengan jumlah staf tersebut Misna merasa masih kekurangan tenaga.
Betapa tidak, banyaknya kain yang harus dibersihkan, dikeringkan, disetrika, kemudian didistribusikan ke ruangan-ruangan RSAS bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Apalagi luas RSAS sekarang ini membaut jarak antar ruangan semakin berjauhan. “Kami berharap pihak Badan Pengelola dapat mempertimbangkan kembali memngenai kekurangan tenaga di laundry ini, kami masih memerlukan 2 orang tenaga, satu untuk mendistribusikan kembali pakaian bersih ke ruangan-ruangan dan yang satunya akan kami perbantukan pada tugas mencuci” ujarnya berharap. Selain itu lebih lanjut Misna berharap akan adanya pengadaan atau perbaikan mesin cuci mereka yang sudah tidak bisa diopersikan lagi bisa segera terealisasi. “Karena dengan begitu kami dapat bekerja seefisien mungkin dan dapat mengurangi resiko terinfeksi kuman penyakit dari pakaian-pakaian kotor yang kami bersihkan” jelasnya.
Namun demikian apa yang dilakukan oleh petugas laundry RSAS patut diberikan apresiasi, karena ketika ditanya apa yang paling membuat mereka bahagia dengan pekerjaan ini, tersirat dari raut muka yang penuh bangga “kami telah menjadi bagian dari usaha menolong manusia yang lain. Karena dengan peralatan dan kain yang bersih tentu saja petugas medis dan pasien akan merasa nyaman dan enak dirawat di rumah sakit ini” imbuhnya dengan senyum. (Eka)

di 03.28 , 0 Comments

PERAWAT RAMAH PASIEN SENANG

Setiap kali berpapasa dengan suster-suster berseragam violet muda di Rumah Sakit Aloei Saboe, senyum manis dari perawat itu menjadi satu hal yang selalu dinantikan mereka yang datang ke rumah sakit ini. Begitu menariknya fenomena senyum ini, hingga Crew Inflamas mencoba menguak sedikit celah hidup seputar perawat-perawat RSAS.

Sumbang terdengar dari beberapa keluarga pasien yang merasakan tidak terlayani secara maksimal di rumah sakit ini. “Mengapa …. Rumah sakit sebesar ini mempekerjakan perawat judes, menyapa saja tidak apalagi tersenyum”
Itu merupakan segelintir kritikan yang dikeluarkan sejumlah pasien dan keluarga pasien yang pernah dirawat di Rumah Sakit Aloei Saboe. Memang terdengar menyakitkan namun kenyataanya memang seperti itu.
Saya sendiri pernah menyaksikan langsung kejadian yang tidak mengenakan tersebut. Di salah satu gedung rawat inap RSAS terbaring lemah seorang pasien yang terlihat berada pada kondisi yang sangat memerlukan bantuan dari perawat. Salah satu keluarga mencoba menghubungi perawat yang bertugas malam pada waktu itu, namun saying ternyata perawat yang bersangkutan sedang melaksanakan aktivitasnya yang lain (tidur pada waktu jam kerja). Tentu saja hal tersebut memicu kemarahan keluarga pasien, yang akhirnya melarikan pasien ke IRD. “Suami saya sudah sangat kesakitan menahan nyeri diperutnya, sementara perawatnya tidak kunjung datang” ujar istri pasien yang enggan disebutkan namanya. Sementara itu dokter jaga dan perawat yang bertugas di IRD hanya bisa geleng-geleng kepala setelah mendengar penjelasan dari keluarga korban.
 Contoh kejadian diatas sebenarnya sangat disayangkan terjadi. Namun dari peristiwa itu kita memperoleh satu pelajaran berharga. Dimana pelayanan terbaik kepada pasien adalah yang utama, apalagi Rumah Sakit Aloei Saboe telah menjadi Rumah Sakit Tipe B Non Pendidikan. Tetapi seburuk itukah sikap perawat di rumah sakit yang kita banggakan ini? Dimanakah senyum dari para srikandi kemanusiaan ini? Kita simak saja komentar langsung dari perawat-perawat ramah di RSAS ketika Inflamas melakukan feedback atas fenomena diatas yang kebetulan kali ini kepada perawat Instalasi Rawat Darurat (IRD), Iyam Tombokan.
“Perawat judes, tanpa senyum? Mungkin saya rasa tidak juga. Karena misalnya kami yang bertugas di IRD yang merupakan instalasi terdepan harus melakukan pelayanan cepat dan tepat. Hanya saja sering terjadi kesalahpahaman antar petugas dan keluarga korban. Misalnya ketika mereka panik, tentu saja mereka menginginkan penanganan secepatnya terhadap keluarga yang sakit tapi juga ingin melihat langsung penanganan yang diberikan dengan berupaya masuk dalam ruangan IRD. Ini tentu saja tidak dibolehkan, karena penaganan pasien seharusnya dalam kondisi ruang yang tenang dan tidak dalam kondisi tergesa-gesa atau panic. Nah, ketika perawat (kami.red) tidak membolehkan keluarga masuk, kadang mereka memaksa untuk masuk. Disinilah mungkin terjadi kesalahpahaman. Disatu sisi keluarga pasien ingin memperlihatkan sikap care-nya terhadap pasien dengan ingin menemani terus pasien yang akan dirawat, sementara disisi lain petugas harus bekerja tenang dan profesional tanpa ada gangguan agar penanganan terhadap pasien bisa berjalan baik, untuk itu keluarga dilarang masuk.
“Hal ini dapat kami pahami, siapa sih yang tak tak peduli kepada keluarganya yang sakit dan butuh pertolongan secepatnya. Hanya saja kami juga minta para keluarga pasien percaya dan yakin pada kami bahwa setelah diterima di IRD biarkan kami dan para medis bekerja. Dengan begitu kerjasama dan pengertian dari pihak keluarga pasien kami sangat harapkan. Jadi mungkin saja perawat kelihatan judes ketika keluarga pasien tidak mau memahami aturan yang ada. Tapi mudah-mudahan tidak terjadi lagi. Karena seiring dengan berkembanganya rumah sakit ini, maka sikap serta perilaku mengedepankan pelayanan prima telah menjadi prioritas bagi perawat disini. Jika tidak, maka pasien atau keluarga pasien bisa protes” jelas Iyam.

di 03.24 , 0 Comments